![]() |
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Erika Retnowati. [Dok. BPH Migas] |
ZONAPIRASI.MY.ID - Permohonan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang kerap disapa Mualem agar Pertamina menghapus pemberlakukan barcode BBM subsidi di Aceh, ditolak dengan tegas oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
BPH Migas menyampaikan penolakan tersebut melalui surat Nomor: T-126/MG.01/BPH/2025, Tanggal 25 Februari 2025.
Dilansir dari Komparatif.id, Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Aceh itu, menyebutkan pencabutan barcode (QR code) BBM subsidi dan penugasan di Aceh, belum dapat dipenuhi.
Mengapa permintaan Gubernur Aceh tidak dapat dipenuhi oleh BPH Migas? Pertama, pendistribusian BBM bersubsidi dan berkompensasi, diperuntukkan kepada masyarakat yang berhak.
Tentang siapa masyarakat yang berhak, telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres 117 tahun 2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Kedua, subsidi dan kompensasi BBM merupakan bagian dari pengeluaran yang dibiayai APBN. Dengan demikian, penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel.
Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, diperlukan sistem pendataan untuk mencatat siapa yang membeli BBM subsidi dan BBM kompensasi, serta sektor yang menggunakannya agar pendistribusiannya tepat volume, tepat sasaran, dan tidak terjadi penyalahgunaan.
Ketiga, penggunaan teknologi pemindai (barcode/QR Code) merupakan salah satu upaya untuk memastikan bahwa masyarakat yang berhak bisa mendapatkan haknya dalam mengakses BBM subsidi dan kompensasi, serta untuk mengidentifikasi secara akurat konsumen pengguna BBM subsidi dan kompensasi.
Penerapan sistem digitalisasi di PBU, juga bermanfaat dalam menekan penyalahgunaan BBM subsidi dan kompensasi sehingga dapat lebih optimal dalam pemanfaatannya.
Dikhawatirkan apabila tidak digunakan barcode/QR Code, penyalahgunaan BBM subsidi dan BBM kompensasi akan semakin marak, sehingga masyarakat yang berhak justru tidak mendapatkannya, karena kuota terbatas.
Empat, BPH migas memahami kekhususan Aceh seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Akan tetapi, mereka—BPH Migas—tetap saja harus bekerja sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparan.
“Kami menghormati UU Nomor 11 Tahun 2006, kami menghormati kekhususan Aceh. akan tetapi kami juga harus bekerja sesuai dengan regulasi dan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” sebut Kepala BPH Migas.
(SR)